TEROPONGPUBLIK.CO.ID - Sore itu, di awal bulan Januari 2025, seorang penulis amatir tampak tergesa-gesa. Ia baru saja tiba di perkotaan Lebong dengan wajah cemas, seolah takut akan melewatkan batas waktu. "Sudah deadline," katanya terburu-buru. Entah karya apa yang tengah ia kerjakan, namun jelas bahwa cerita itu ada kaitannya dengan seorang tokoh utama.
Tokoh utama dalam cerpen ini adalah seorang pejabat penting yang memiliki kuasa besar dalam penunjukan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Keputusan-keputusan yang diambilnya tidak pernah lepas dari pengaruh uang. Baginya, kualitas seseorang selalu dapat diukur dengan seberapa banyak uang yang dimilikinya.
Di tengah-tengah ketergesaan itu, sang penulis mulai mengetikkan kisahnya dengan penuh ketelitian. Ia menatap layar laptop sambil memikirkan tokoh utama yang ia tulis, yang seharusnya berada di Lebong. Namun kenyataannya, sang tokoh utama kini justru menetap di Bengkulu. Kota itu telah memberikan tempat bagi sang pejabat untuk berlindung, jauh dari sorotan publik.
Tentu saja, kehadiran tokoh utama di Bengkulu bukanlah kebetulan. Ia memilih kota itu sebagai pelarian dari dunia yang penuh dengan intrik dan tuntutan, di mana setiap langkahnya selalu dipengaruhi oleh kekuasaan dan uang. Di sana, ia merasa bebas, meski ia tahu kualitas hidup seseorang tetap dihargai dengan tolok ukur finansial. Para pengikutnya yang setia pun tidak berani berbuat banyak, seperti dibungkam oleh kekuatan tokoh utama.
Di dalam dirinya, penulis berjuang antara menulis kenyataan atau menciptakan fiksi. Tetapi setiap ketukan pada keyboard mencerminkan kenyataan pahit: uang telah menjadi kunci utama dalam menilai siapa yang layak dan siapa yang tidak. Siapa yang bisa meraih kekuasaan, akan mendapatkan apa yang mereka inginkan, bahkan jika itu berarti mengabaikan kualitas manusia seutuhnya.
Malam semakin larut, dan penulis akhirnya selesai mengetik cerpen singkatnya. Sambil menatap layar dengan kosong, ia merenung. Kisah yang baru saja ia tulis mungkin adalah proyeksi dari kenyataan yang ada. Mungkin juga, ini adalah pertanyaan kritis yang ingin ia sampaikan kepada pembacanya: Apakah kualitas manusia masih dihargai ketika uang menjadi penentu utama segalanya?
Pewarta: Rifaldo